Hasan Jagoan Mampang
September 06, 2016
Edit
Alkisah Rakyat ~ Hasan anak Tabrani. Emak Hasan bernama Zainab. Mereka tinggal di Kramatjati, hidup miskin. Waktu Hasan berumur 3 tahun, emaknya meninggal. Hasan kemudian ikut neneknya, Ibu Tabrani. Umur 5 tahun Hasan kembali ke bapanya, yang sudah kawin lagi. Emak tirinya memperlakukan Hasan semaunya, suka memukul. Tatkala umur 10 tahun Hasan bertanya kepada bapanya: Siapa sebenarnya ibu kandungnya.
Jawab ayahnya, ibu Hasan telah meninggal. Semula emaknya itu berasal dari Mampang. "Engkong dan nenekmu masih ada di Mampang. Engkongmu namanya Bisri dan onangmu Saonah." Dua hari kemudian Hasan pergi meninggalkan rumah menuju Mampang, rumah kakek dan neneknya. Di Mampang ia tinggal bersama engkong dan onangnya. Penghidupan Pak Bisri (engkong Hasan) mengerjakan tanahnya yang hanya 2 petak dan punya seekor lembu.
Setelah Hasan dewasa ia sadar bahwa kehidupan orang-orang yang tinggal di daerah Mampang itu ditindas oleh tuan tanah bangsa Cina bernama Lie Ceng Hun, yang senantiasa menarik pungutan semacam pajak. Tidak hanya kakeknya saja yang diperas, orang lainpun diharuskan pula menyetor sebahagian hasil panennya kepada Cina tuan tanah itu, bahkan hasil kebun dan ternaknya pun harus disetorkan pula. Hasan merasa tidak rela menghadapi nasib orang-orang di Mampang itu.
Ia pamit kepada engkong dan orangnya pergi ke Bogor, belajar ilmu beladiri. Kepergian Hasan menjadikan kakeknya jatuh sakit akhirnya meninggal. sawah dan sapinya dijual untuk biaya penguburan kakeknya. Selang 2 tahun Hasan datang lagi. Kakeknya telah meninggal, tinggal neneknya hidup seorang diri dalam keadaan sangat miskin, hidup dari berjualan.
Hasan berkata kepada neneknya: "Orang, gua mau pergi ke sawah".
Jawab onangnya : Sawah San? Emang lu belon tau?"
Belon nang."
"Gini San, sawah engkong lu telah diminta itu tuh. Tuan tanah Babah Lie Ceng Hun." Dulu dia bilang mau bayar, tapi ampe sekarang belon juga dibayar juga. Dasar Cina penipu. Kita kagak bisa berbuat ape-ape, San. Kalo kita datang kerumahnya minta bayaran, gue bisa jadi "bangke" dilempar kali Krukut."
Dendam Hasan makin meluap.
Pada waktu malam, Hasan bersama teman-temannya berlatih bela diri, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, takut dikira akan membangkang Belanda.
Suatu hari Hasan berpapasan dengan rombongan anak tuan tanah : Lie Ceng Yan, bersama centeng-centengnya. Tiba-tiba Hasan dibentak :
"Lu monyet atau kambing, kagak tau hormat, ini kan rombongan tuan besar!"
"Tuan besar? jawab Hasan melongo.
"He dasar lu bintang, kalo belon dipukul belon mau minggir."
Centeng-centeng bermaksud mengeroyok Hasan, tetapi selalu dapat ditangkis. Hasan menghindarinya.
Malam harinya Hasan berunding dengan kawan-kawannya, tindakan apakah yang sebaiknya dilakukan.
Di Mampang Pela (h), Salbiyah menjadi gadis pujaan para pemuda. Hasan mencintai Salbiyah, Salbiyah mengimbangi cinta Hasan.
Bedo, pemuda yang menaruh hati kepada Salbiyah, mendendam kepada Hasan, karena merasa disaingi.
Tatkala Hasan bermaksud singgah di rumah Salbiyah, didengarnya Salbiyah menjerit minta tolong. Ia akan diperkosa cina muda Lie Ceng Yan, dibantu oleh centeng-centeng.
Dengan sekali dobrak pintu Hasan dapat memukul Cina itu, ditendang keluar. Bedo dan seorang centeng kena pukulan Hasan pula.
"He, lu bertiga kalo ganggu Yayah lagi awas luh ! Gue bikin mampus!"
Cina Lie Ceng Yang menyuruh centeng-centengnya mengadakan pembalasan kepada Hasan. Hasan dikerubut centeng-centeng, tapi centeng-centeng kewalahan, melarikan diri.
Para centeng membuat siasat memfitnah Hasan. Bedo disuruh merampok Babah Lie Ceng Hun. Centeng tidak mampu menghalangi. Sudah itu lapor kepada Belanda, bahwa yang merampok Hasan. Hasan ditangkap, lantas dilepaskan lagi karena tidak terbukti salah. Dia diberi sangsi harus dapat menangkap perampoknya. Hasan dan teman-temannya menggerebeg rumah Bedo. Bedo ditangkap dan mengakui perbuatan jahatnya. Bedo dan teman-temannya dihukum. Hasan usul kepada pemerintah agar tuan tanah jangan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat setempat. Usul Hasan diterima. Rakyat Mampang menyambut gembira.
Sumber : Ceritera Rakyat Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta