-->

Cerita Batu Menangis

Cerita Batu Menangis ~ Tersebutlah cerita Batu Menengis di sebuah kampung di pinggiran danau Minanjau. Kampung itu bernama Bayur. Dan batu yang akan diceritakan itu terletak di sebelah kiri jalan ke Lubuk Basung menjelang negeri Koto Baru.


Dahulu kala kampung ini didiami oleh penduduk yang kerjanya bertani menangkap ikan ke danau. Penduduk yang berjiwa gotong-royong ini bisa mendirikan rumah-rumah besar yang bergonjong dan di antaranya ada yang bernama rumah gadang Gajah Maharam. Rumah-rumah yang didirikan oleh penduduk ini sangatlah rapatnya, sehingga atap rumah yang satu dengan yang lain hampir bersambungan.

Pada suatu hari terjadilah kebakaran yang sangat banyak memusnahkan rumah-rumah penduduk itu. Hampir seluruh kampung itu habis dilanda api. Penduduk kampung banyak yang jatuh melarat karena tidak bisa menyelamatkan harta benda. Dan bahkan padi di lumpung pun turut terbakar.

Dengan kejadian yang menakutkan ini banyaklah penduduk kampung berniat kembali mendirikan rumahnya di tempat-tempat yang dirasakan aman. Mereka mencari daerah-daerah di pinggiran kampung, ada yang di Kampung Jambu, Kayu Kalek, Sungai Rangeh, Panji dan Jalan Batuang. Pendek kata hampir seluruh penduduk berpikir demikian. Lebih baik mendirikan rumah di pinggiran hutan dan bahkan lebih dekat dengan sawah dan ladang.

Maka tinggallah sebahagian penduduk di kenegerian Bayur yang tidak bisa melepaskan mata pencahariannya ke danau menangkap ikan di samping ke sawah. Di antara penduduk itu tersebut pulalah seorang ibu dengan seorang anaknya perempuan. Suami perempuan ini telah lama meninggal. Dan anaknya ini termasuk cantik di kampung itu dan mulai menanjak dewasa.

Perempuan inilah yang bertanggung jawab membesarkan anaknya itu serta mendidiknya menurut adat dan agama. Namun anaknya ini kuranglah memperhatikan didikan orang tuanya itu. Kerjanya setiap hari mematut diri karena ia tahu benar akan kecantikannya. Ibunya yang telah tua itu dibiarkannya berpayah-payah mencari makan baik ke sawah maupun ke danau menangguk udang. 

Pada suatu musim, padi di sawah menjadi rusak lantaran dimakan hama dan tikus. Banyak penduduk kampung itu yang kehabisan padinya di lumbung. Dengan keadaan ini tidaklah ke tinggal menimpa nasib perempuan berdua beranak ini. Sulitlah baginya untuk bersalang tenggang dengan orang berdekatan karena mereka pun bernasib yang sama pula dengannya. Ibu yang sangat sayang pada anaknya ini tidak mau melihat anaknya akan mati kelaparan. Maka olehnya diajaknya anak gadisnya itu ke Kampung Jambu dengan niatan meminjam pada ke familinya yang ada disana.

Dalam teriknya matahari berangkatlah dua beranak itu ke tempat yang dituju. Sang anak tidak lupa mengenakan baju yang indah-indah karena takut akan dikatakan orang dirinya buruk. Melihat karena anak gadis itu ibunya terpaksa saja membiarkan karena ia sendirian pun tidak mau mengecilkan hati anaknya. Di tengah jalan banyaklah orang yang memuji-muji kecantikan gadis ini bagaikan bidadari yang baru turun dari kayangan. Banyak anak-anak muda yang tergila-gila padanya.

Setelah mereka sampai di tempat yang dituju, mereka dijamu oleh famili tempat mereka akan meminjam padi. Anak gadis yang teranja-anja ini naik ke atas rumah seorang diri dengan melarang orang tuanya turut serta. Ibunya dibiarkannya duduk di halaman yang berpanas menunggu maksud mereka tercapai. Dengan hati yang mulai terluka ibu yang sangat sayang pada gadis itu menurut saja.

Diatas rumah gadis itu dihidangkan orang makanan dan minuman yang enak-enak untuk melepaskan lapar dan dahaganya. Di kala orang yang punya rumah menjenguk ke halaman tampaklah olehnya seorang perempuan duduk dalam kepanasan. Karena hibanya si empunya rumah pada perempuan itu, maka bertanyalah ia pada si gadis.

"Siapakah gerangan yang duduk di halaman itu?"

Terkejut anak gadis itu mendengar pertanyaan yang tiba-tiba saja datangnya. Tiba-tiba pula ia mendapat pikiran untuk menjawab pertanyaan itu.

"Perempuan itu adalah orang suruhan hamba," jawabnya dengan muka merah karena malu mengakui perempuan itu sebagai ibunya lantaran pakaiannya yang compang camping.

"Suruhkanlah ia naik boleh ia makan bersama-sama," kata orang punya rumah.

"Jangan," kata gadis itu dengan suara yang agak lantang.

"Jika terniat oleh ibu hendak menyedekahi ia makanan maupun minuman, berikan saja dengan tempurung."
Orang yang empunya rumah menurutkan saja apa yang dikatakan gadis cantik itu. Perempuan yang di halaman itu diberinya makanan dan minuman yang diletakkan dalam tempurung.

Bukan main sedihnya hati ibu yang malang itu mengingatkan nasibnya. Air matanya jatuh bermanik-manik bagaikan kaca jatuh ke batu. Dengan hormat ia menolak keramaian hati orang yang empunya perutnya sangat lapar dan tenggorokannya kering bagaikan terbakar.

Matanya berkunang-kunang dan dunia ini seakan-akan gelap dipandangnya. Ia berdoa dalam hati semoga anak yang dicintainya itu ditunjuki juga jalan yang benar dan segala dosanya diampuni oleh Tuhan. Setelah haus dan lapar gadis itu lepas maka disampaikannya maksud dan tujuannya datang ke kampung itu hendak meminjam padi menjelang petahunan yang akan datang.

Lantaran kasihan melihat nasib dan cantiknya gadis itu, maka orang yang empunya rumah memperkenankan permintaannya. Padi mereka yang di lumbung disukatkan ke dalam sumpit yang dibawa gadis itu.

Setelah penyukatan padi itu selesai, maka berkatalah gadis yang durhaka itu pada ibunya: "Hai perempuan buruk, junjunglah olehmu sumpit ini agar lekas kita sampai di rumah."

Sekali lagi perempuan yang bernasib malang ini mematuhi saja apa yang dikatakan oleh anaknya. Air matanya kembali berhamburan dan dalam hati ia berdoa semoga anak yang dicintainya itu kembali ditunjuki Tuhan jalan yang benar.

Dijunjungnya padi itu dengan sisa kekuatannya yang masih ada. Tuhan akan menolong ia beroleh kekuatan dan jalananya pun cepat melintasi pematang-pematang yang tinggi jika dibandingkan dengan jalan anaknya yang tidak berbeban itu.

Sementara itu panasnya matahari semakin menjadi-jadi bagaikan membakar. Gadis yang durhaka itu tampak keletihan hausnya kembali terasa dan perutnya kembali lapar. Ia rasakan takkan mungkin meneruskan perjalanan itu.

Pada sebuah pematang yang agak tinggi, malang akan menimpa anak gadis itu, kakinya terantuk dan ia terjatuh. Dengan memekik ia memanggil ibunya meminta pertolongan. Namun orang tua yang telah berhati luluh itu tidak mengacuhkan panggilan anaknya itu, hingga terdengar sayup-sayup sampai.

Sebagai ibu yang masih tetap mencintai anaknya, ia melengong ke belakang. Betapa terkejutnya perempuan itu, di mana di tempat anaknya terjatuh itu telah berdiri saja sebuah batu yang besar sedang suara yang berhiba-hiba minta pertolongan masih saja terdengar. Ia segera berlari ke tempat datang suaranya itu. Dan ia meraung sejadi-jadinya melihat anaknya telah berobah saja menjadi batu. Seribu penyesalan datang di hatinya. Mengapa ia tidak lekas datang membantu anaknya itu. Ia terus juga berhiba-hiba mengingatkan nasibnya yang akan tinggal seorang diri. Ia berusaha minta tolong pada orang kampung agar anaknya itu bisa dikembalikan sebagai mana sediakala. Namun Tuhan telah memperlihatkan kekuasaan-Nya terhadap orang yang durhaka, dan anak gadis itu tetap menjadi batu.

Hingga sekarang kita masih bisa melihat batu tersebut di mana setiap bulan puasa dari dinding batu itu akan kita lihat keluar air. Menurut kata orang batu itu menangis menyesali perbuatannya. Maka bernamalah “Batu Menangis”.

Sumber : Bungai Rampai Ceritera Rakyat Sumatera Barat
 

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel