-->

Cerita Bujang Lengong

Cerita Bujang Lengong ~ Cerita Bujang Lengong di Painan merupakan cerita mitos yang populer, di kalangan masyarakat di Painan. Cerita ini bertemakan Anak Durhaka terhadap orang tuanya. Hampir sama dengan cerita Malin Kundang. Jalan ceritanya pun hampir sama, yang berlainan tempat kejadiannya. Banyak pula orang beranggapan, bahwa cerita Bujang Lengong ini, memang benar-benar terjadi, karena ada sampai sekarang pencalangnya jadi batu dan kain muatan pencalang tersebut juga menjadi batu, yang sekarang bernama batu kodi. Batu yang berlipat-lipat, seperti lipatan kain berkodi, yang terletak di tepi pantai. Sedangkan pencalangnya agak jauh ke tengah sedikit. Waktu pasang surut, pencalang ini kelihatan dari tepi pantai, dan di dalamnya ada sebahagian badan Bujang Lengong yang telah menjadi batu. Di zaman dahulu, ada berkepala, sekarang tidak ada lagi, tanggal dihempas oleh ombak.

Bujang Lengong adalah anak tunggal dari orang tuanya. Ayahnya sudah lama meninggal dunia, ketika dia masih kecil. Sejak itu dia diasuh oleh mandenya. Mandenya tinggal di lereng bukit dekat pantai. Disinilah mandenya mendirikan pondok/gubuk. Penghidupan sehari-hari bertani, menanam ubi kayu dan sayur-sayuran. Dari hasil tani inilah mandenya hidup sehari-hari. Bujang Lengong dibesarkan dengan susah payah oleh mandenya. Maklumlah hidup bertani. Kadang-kadang ubi kayu  murah belinya, dan acap kali pula dia tidak makan sehari-hari. Namun demikian Bujang Lengong, tetap rajin membantu mandenya mengolah tanah, sebagai mata pencaharian sehari-hari baginya.

Bujang Lengong telah dewasa kira-kira umur 18 tahun. Terniat dalam hatinya ingin merantau. Niatnya ini disampaikan kepada mandenya, mandenya keberatan melepaskan pergi merantau, sebab mandenya sudah tua dan lagi anak tunggal pula. Maklumlah anak tunggal, anak kesayangan, si Upik, si Buyung pada dirinya, tak sampai hati mandenya melepas anak kesayangannya pergi merantau, entah apabila akan pulang. Tetapi Bujang Lengong tetap pada pendiriannya semula, ingin merantau, terpaksalah mandenya melepas pergi merantau. Sebelum anaknya pergi ke rantau, mandenya meninggalkan amanat kepada anaknya, jangan lupakan mande di rantau orang selalulah Bujang ingat ke mana Bujang berada. Andaikata Bujang kaya di negeri orang berminatlah Bujang pulang ke kampung, tengoklah mande. Amanat mande dipegang teguh oleh Bujang Lengong, siang dipertongkat, malam diperkalang Bujang Lengong berjanji akan mebela mandenya, sampai dihari tua beliau. Tibalah waktunya Bujang Lengong akan berangkat/berlayar ke negeri orang, Bujang Lengong bermaaf-maafan dengan mandenya dan bertangisan keduanya. Bujang Lengong berlayar ke rantau, tidak ada modal, hanya kemauan keras dan kejujuran yang ada pada dirinya. Bak pepatah orang tua-tua : Laut sati, rantau bertuah.

Sepeninggal Bujang Lengong, mandenya, selalu teringat akan anaknya, maklumlah anak tunggal, anak kesayangan. Kesehatannya terganggu, karena teringat akan anaknya, makin sehari makin kurus dan lekas wajahnya menjadi tua, karena mabuk perasaan. Apalagi tinggal sendirian di atas bukit, yang selama ini ditemui oleh Bujang Lengong, sekarang sudah jauh di rantau orang. Negeri mana yang didiami tidak tentu, apakah anaknya masih hidup/meninggal. Sehari-harian mande Bujang Lengong, bila teringat akan anaknya jatuh berderai air mata, tak kunjung habis-habisnya.

Setiba Bujang Lengong di rantau orang, dia berinduk semang dengan orang kaya. Karena dia jujur, induk semangnya sayang kepadanya. Disuruhnya berdagang antar pulau. Akhirnya dia mendapat kepercayaan dari induk semangnya, lalu diambil sebagai anak angkat oleh induk semangnya. Perdagangan kian hari kian meningkat dan bertambah besar. Terakhir dialah termasuk orang kaya di negeri itu, berkat asuhan bapak angkatnya. Kemudian oleh bapak angkatnya dia diperumahkan/dikawinkan dengan famili bapak angkatnya tersebut. Isterinya memang cantik, dan dia bermaksud akan pulang ke kampung, sambil memperkenalkan isterinya kepada mandenya. Maksud keinginan Bujang Lengong pulang ke kampung disampaikan kepada isterinya. Maksud suaminya disokong penuh oleh isterinya, karena berkeinginan pula melihat mande suaminya di kampung.

Bujang Lengong di dampingi oleh isterinya dan beberapa orang anak pencalangnya. Lama kelamaan berlayar, sampailah pencalang tersebut di pelabuhan di negerinya Sungai Nipang Painan. Dengan datangnya pencalang tersebut ke pelabuhan, berduyun-duyunlah orang banyak datang ke pelabuhan, melihat pencalang masuk. Orang banyak bertanya-tanya, pencalang siapa gerangan yang masuk ke pelabuhan. Apakah pencalang dagang/pencalang perang. Kemudian ternyata pencalang yang datang itu adalah pencalang Bujang Lengong yang sudah lama di rantau orang. Tersiarlah khabar, pencalang tersebut kepunyaan Bujang Lengong, maksudnya datang untuk menemui mandenya. Khabar ini sampai di dengar oleh mande Bujang Lengong bahasa anaknya sudah pulang dari rantau. Dengan rasa kegembiraan, mandenya langsung pergi ke pelabuhan menemui anaknya, yang sudah lama di rantau. Setiba di pelabuhan mandenya langsung hendak bertemu muka dengan anaknya Bujang Lengong. Karena mandenya sudah tua bangka, telah bungkuk berjalan dengan tongkat, dengan susah payah sampai juga naik kencalang anaknya.

Setiba di pencalang, mandenya memperkenalkan dirinya, sebagai mandenya sambil meneteskan air mata. Apa yang terjadi, Bujang Lengong pura-pura tak kenal, mande saya masih muda, belum setua ini. Memang ini mande Bujang, tak ingat lagi Bujang makan ubi kayu, ketika Bujang waktu kecil. Mande bertambah tua, karena mabuk perasaian hidup, lebih-lebih lagi Bujang telah berpisah jauh dari mande. Bujang Lengong tetap tidak mengakui mandenya, karena dia malu mengakui, sebab mandenya telah tua bangka. Bujang Lengong malu terhadap isterinya yang cantik, dan kepada orang banyak, terpaksa dia durhaka terhadap mandenya sendiri.


Lalu mandenya tersebut diusirnya dari pencalang seperti mengusir anjing. Cis, pergi dari sini, jika tidak pergi terpaksa saya pukuli dengan rotan ini. Dengan perasaan terharu, bercampur sedih, mandenya tidak menyangka anaknya berbuat yang demikian. Anaknya telah durhaka terhadapnya, terpaksalah mandenya dengan berhiba hati turun dari pencalang. Bujang Lengong ada dinasehati oleh isterinya, akuilah mande kita, walaupun dia sudah buruk. Tetapi Bujang Lengong tetap pada pendiriannya. Bujang Lengong dengan angkuhnya, berkata pada anak buahnya, kita berangkat pulang ke tempat semula. Bujang Lengong berkata kepada orang banyak yang ada di pelabuhan, bahasa mandenya telah meninggal dunia. Sambil menuju kepada mandenya, mande buruk ini bukanlah mande kandung saya, mande saya sudah lama meninggal dunia. Sewaktu pencalang Bujang Lengong akan berangkat lagi, meninggalkan pelabuhan, disaat itu pula mandenya menyumpah : "Ya, Tuhan kutuklah anak yang durhaka terhadap mandenya, jadikanlah pencalangnya menjadi batu berserta isinya."

Sumpah mande berlaku, pencalang Bujang Lengong menjadi batu, berserta muatannya. Muatannya berupa kain berkodi-kodi berubah menjadi batu. Sekarang tempat tersebut bernama Batu Kodi, persis seperti kain berkodi-kodi bentuknya. Batu kodi tersebut adalah muatan pencalang Bujang Lengong sudah diletakkan di tepi pelabuhan, untuk diberikan kepada mandenya. Itulah sebabnya letaknya di tepi pantai. Sedangkan pencalang Bujang Lengong jauh sedikit ke tengah laut, persis seperti pencalang dari batu dan di dalamnya ada Bujang Lengong telah jadi batu, sedang duduk. Bila pasang surut, pencalang ini kelihatan dari batu kodi. Sekarang batu kodi merupakan tempat rekreasi bagi pelajar setiap tahun.

Apakah cerita ini benar atau tidak terserah bagi orang yang menilai. Apakah mitos, seperti cerita Malin Kundang, juga durhaka terhadap mandenya. Anggapan penduduk, terutama di Painan cerita ini memang terjadi, dibuktikan dengan adanya pencalang Bujang Lengong dan batu kodinya. Menurut pandangan ilmiah, cerita ini termasuk mitos agama, sebagai ajaran bagi generasi muda sekarang, supaya jangan durhaka kepada orang tua. Apakah mungkin manusia menjadi batu, karena disumpahi oleh mandenya. Menurut keadaan sekarang, tidak mungkin manusia menjadi batu, walaupun disumpai mandenya. Tetapi, jika Tuhan berbuat sekehendaknya, mungkin juga sumpah mande terkabul.

Demikianlah kira-kira cerita ini kami sadur atau dengar dari orang-orang tua yang ada di Painan.

Sumber : Bunga Rampai Ceritera Rakyat Sumatera Barat
 

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel